Ketika Emosi mengalahkan Naluri. Mendidik tidak harus keras.
Dalam kesibukan sehari-hari kadang emosi tidak terkontrol. Anak salah sedikit dimarahin, disalahkan. Padahal tidak harus dengan marah juga semuanya beres, tidak harus Emosi. Namanya anak tentu salah adalah hal biasa terjadi. Mereka sedang dalam proses belajar. Kita juga yang sudah tua banyak melakukan kesalahan sengaja atau tidak sengaja.
Pernahkan bunda mengalami seperti ayah, ketika sudah memarahi anak terus merasa bersalah dan berpikir kenapa harus marah, padahal semuanya bisa diselesaikan tanpa harus pake emosi? Jika ya pernah dan sering mengalami hal tersebut kita adalah orang tua yang belum bisa mengontrol emosi kita.
Ada tulisan bagus dari grop Parenting with Elly Risman and Family. Kali ini mengenai emosi kita disaat marah terhadap anak kita. Yuk disimak dulu.
“Diaaam !.. diam mama bilang! Cengeng banget sih gak berenti berenti nangis dari tadi.. Kalau mama sudah gak sabar nanti mama pukul kamu! “
“Tau kenapa mama gak suka sama kamu?, kalau nagis lama, dibilangin gak denger, gak kayak adikmu!, faham,,?” Ujar bu Tini pada anaknya yang sulung berusia 5.5 tahun sambil mendorong kepala anaknya…
Terkesan familiar ?
Bukan hanya bu Tini tapi banyak ibu ibu lain sering sekali merasa tak mampu mengendalikan emosinya menghadapi anak anaknya, tanpa tahu mengapa mereka merasakan seperti itu. Umumnya bila sudah marah panjang lebar bahkan melengkapinya dengan nolak kepala seperti yang dilakukan bu Tini, ada juga dengan mencubit bahkan memukul, mereka umumnya menyesal bahkan gak jarang menangis dikamar tidur nya. Apalagi kalau sudah malam, semua sudah tenang dan dia mengamati atau memandangi anaknya yang pulas tertidur dan nampak benar keluguan dan kepolosannya..
“Ya Allah kenapa aku marahi dan pukuli anakku ya Allaaah”, keluhnya sambil menciumi anaknya sementara air mata terus berurai. Penyesalan tak pernah datang diawal….
Beginilah jadinya bila tak ada persiapan.
Umumnya, jarang sekali ayah dan ibu memiliki kesiapan atau dipersiapkan oleh orang tuanya untuk menjadi orang tua. Kalau dulu, ketika beban pelajaran belum seberat sekarang dan jam belajar belum lagi diatas 8 jam sehari, anak anak masih punya kesempatan untuk bersama dengan anggota keluarga dirumah. Sehingga kalau tidak terlibat dalam membantu kakak atu tantenya yang punya anak kecil, anak anak masih dimintai tolong untuk membantu mengasuh atau menolong adiknya.
Tapi situasi kini jauh berubah. Anak anak sekolah pada usia yang lebih dini, mata pelajaran yang padat, jam belajar yg panjang dan tugas sejibun. Pulang, lelah jiwa raga. Main games, nonton TV, kerjakan tugas lalu tidur. Jarang ada kesempatan untuk dialog dan bercengkrama dalam keluarga. Apalagi kalau kedua orang tua bekerja pula dan pulang selalu lebih telat dari waktu anak tiba dirumah. Bayangkan !
Tiba tiba tak terasa anak sudah lulus sekolah menengah, mahasiswa atau sudah jadi sarjana dan waktu menikahpun tiba. Dari mana ada persiapan menjadi suami istri, apalagi ibu dan ayah?. Tahu tahu punya anak saja. Karena kurang pengetahuan, sengaja atau kesundulan: ada dua balita dalam keluarga . Huih!
Apa yang paling hilang dari pengasuhan seperti yang diuraikan diatas adalah kesempatan untuk mendengarkan perasaan anak. Andainya saja orang tua tahu, bagaimana pentingnya perasaan itu perlu didengarkan, mereka akan berjuang untuk punya waktu dan berdialog dan membicarakan soal “rasa “ dengan anaknya .
Bisakah anda bayangkan, apa jadinya dengan anak bu Tini diatas yang sejak usia balita ibunya suka berteriak, marah, memerintah (Diam!), mencap (Cengeng banget), mengancam (mama pukul nanti), menyalahkan ( Gak suka sama kamu, gak denger), membandingkan ( gak kayak adikmu)??..
Apakah cara pengasuhan seperti ini, memungkinkan bagi orang tuanya untuk menunjukkan perhatian dan memperdulikan perasaan anak nya?. Kemana anak ini akan membawa atau mengadukan derita rasa atau jiwanya kalau orang tuanya terus menerus menggunakan cara pengasuhan serupa ?
Itukan baru sekali!, biasanya berapa kali dalam sehari? dan sudah berapa lama ..? Itu anak siapa ya?
Jadi bagaimana ya kalau nanti dia jadi ibu atau ayah pula?.Bila orang tuanya terbiasa kalau marah seperti itu, tidakkah anak ini akan mengulang semua apa yang dia terima ini dengan OTOMATIS terhadap anaknya pula nanti ?.
Berkata seorang ahli : “Hati hati mengasuh anakmu. Perbaiki pola pengasuhanmu sebelum anakmu baligh. Karena engkau sedang salah mengasuh cucumu!”.
Bagaimana mungkin ?
Bagaimana mungkin merubah cara mengasuh, kalau kita :
1.Tidak menyadari bahwa pola asuh yang kita lakukan adalah pengulangan otomatis dari apa yang diterima dulu dan belum mampu memutus mata rantainya .
2.Tidak mengenali pola asuh yang bagaimana yang terjadi dengan pasangan kita, mengapa dia suka bersikap dan memiliki cara pengasuhan bahkan cara berfikir yang berbeda dengan kita?. Mengenali dan menyesuaikan diri dengan semua perbedaan itu tidaklah mudah, biasanya memerlukan waktu 5- 10 tahun. Tergantung bisa didialogkan dan mau mencari pertolongan ahli atau tidak, bisa dicari titik temu atau tidak. Sementara anak nambah terus…Marah sama pasangan- anak yang jadi korban iya kan ?
3.Apalagi kalau pernikahan itu sudah bermasalah dari awal, tidak disetujui kedua belah pihak, atau hanya sebelah saja, ada kesalahan dilakukan sebelum perkawinan yang menimbukan penolakan dari salah satu keluarga atau anggotanya.
4.Tidak mengerti sama sekali tahapan perkembangan dan tugas perkembangan anak : Usia sekian anak harusnya sudah mampu melakukan apa dan bagaimana merangsangnya.
5.Tidak faham bahwa bahwa otak anak ketika lahir belum bersambungan dengan sempurna, sehingga kemampuannya terbatas, dan banyak hal mereka belum mengerti. Begitu sambungan mencapai trilliunan pada usia 2.5 tahun, anak mulai belajar menunjukkan dirinya. Tapi ketidak fahaman membuat orang tua mematahkan semangat anak dan tidak memberinya kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya dengan sering menjadi :ayah atau mama “sini” : Sini mama bantuin, Sini ayah tolongin…
6.Begitu anak sudah 4 tahun bisa berpura dan berkhayal dikomentari : Bohong, mengada ada dll. Atau bila mereka memberikan pendapatnya orangtua mengatakan “dia sudah bisa membantah dan tidak patuh lagi “. Hoalllah…kasiannya tuh anak!
7.Orang tua tidak tahu bahwa :
Pusat perasaan diotak, berkembang lebih dulu dari pusat kognitifnya. Karena terburu buru ingin anak jadi pintar dan masuk sekolah, usia dini sudah dileskan Calistung, usia 6 tahun masuk SD. Kadang kadang ini dilakukan karena dirumah sudah ada 2-3 adiknya !.
8.BKKBN dan Kelompok Neurosaince Terapan pernah menyarankan agar dihindari sedapat mungkin untuk ada dua balita dalam keluarga, karena sangat mengkonsumsi jiwa, pikiran dan tenaga ibu. Apalagi kalau kedua oang tua bekerja dan anak di “subkontrakkan” kepada orang lain. Bayangkan apa jadinya dengan anak itu? .
Jika anak saja tidak mendapatkan kesempatan untuk didengarkan perasaannya apalagilah ibunya?
Mengapa fungsi berfikir ibu jadi terganggu?
Bagaimana tidak, kalau ibu mengalami semua 8 masalah diatas?.
Seorang ahli mengatakan bahwa bila seseorang sedang secara fisik sangat lelah, maka emosi mudah naik, sehingga bagian berfikir diotaknya menjadi sempit dan fungsi berfikir terganggu. Kelakuan didominasi oleh emosi. Kesadaran dan penyesalan akan muncul belakangan setelah emosi reda, letih berkurang .
Katherine Ellison, dalam bukunya The Mommy Brain menceritakan hasil risetnya bertahun tahun, bahwa ibu yang baru melahirkan itu normal bila dua bulan pertama mengalami apa yang disebutnya : “Amnesia keibuan, atau pikun kehamilan”. Hal ini terjadi oleh karena kekacauan kimiawi saat hamil dan melahirkan ditambah dengan rasa sakit, kekurangan tidur dan keharusan untuk belajar banyak hal sekaligus tentang mengurus, bayi, diri sendiri dan tetap memperhatikan lingkungan. Bila anda lengah sekejap saja, bia menimbulkan akibat yang sanga mengerikan . Allison mengemukakan juga bahwa di Inggris keadaan ini disebut sebagai : Otak Bubur, di Australia : “Otak Plasenta” dan “Otak mami” di Jepang . Bayangkanlah kalau di bulan ketiga ibu ini sudah hamil lagi…
Jadi untuk membantu bagaimana agar ibu “Tidak emosian” dalam mengasuh anak anaknya, semua orang disekitarnya, terutama para ayah dan orang tua hendaknya mengerti akan 8 hal yang umumnya dihadapi oleh seorang ibu berikut “amnesia atau pikun keibuan” diatas dan jangan abaikan perasaannya .
Diatas segalanya, ibu itu sendiri harus mampu mengenali dirinya dan berupaya memahami sepenuhnya serta berdamai dengan masa lalunya dengan memaafkan semua yang terjadi.Selain itu ia harus berusaha mengerti apa yang terjadi dengan pasangannya dan orang disekitarnya.Jangan karena tak mau berdamai dengan sejarah hidup, kesal dengan orang sekitar :suami dan anggota keluarga, anak yang dijadikan korban.
Anak tertekan, tak dimengerti dan tak didengarkan perasaannya adalah bencana di hari tua dan akhirat anda..
Dari risetnya tentang otak para ibu, Allison menunjukkan bahwa dengan menjadi ibu anda menjadi lebih pintar dan cerdas dari apa yang kita fikirkan!.Ada lima sifat otak yang dirangsang oleh bayi anda: Persepsi, Efisiensi,Daya tahan,Motivasi,dan Kecerdasan emosi..
Jadi apalagi dear ? : manfaatkan Mommy Brain anda.
Selamat berjuang untuk menyelesaikan urusan dengan diri sendiri sebelum anda menyelesaikan urusan anak dan keluarga anda. Putuskan mata rantai itu.
Mulailah dengan belajar mendengarkan dan menerima perasaan anak.
Anak kita belum mengerti apa yang menjadi kehendak dari kita selaku orang dewasa, biarkan proses belajar mereka alami tanpa harus di jejali emosi dari kita untuk mengarahkan agar sesuai dengan yang kita harapkan.
Jika dirasakan bermanfaat silahkan share atau simpan artikel ini di bookmark browser anda.
Anakayah.com
Pernahkan bunda mengalami seperti ayah, ketika sudah memarahi anak terus merasa bersalah dan berpikir kenapa harus marah, padahal semuanya bisa diselesaikan tanpa harus pake emosi? Jika ya pernah dan sering mengalami hal tersebut kita adalah orang tua yang belum bisa mengontrol emosi kita.
Ada tulisan bagus dari grop Parenting with Elly Risman and Family. Kali ini mengenai emosi kita disaat marah terhadap anak kita. Yuk disimak dulu.
“Diaaam !.. diam mama bilang! Cengeng banget sih gak berenti berenti nangis dari tadi.. Kalau mama sudah gak sabar nanti mama pukul kamu! “
“Tau kenapa mama gak suka sama kamu?, kalau nagis lama, dibilangin gak denger, gak kayak adikmu!, faham,,?” Ujar bu Tini pada anaknya yang sulung berusia 5.5 tahun sambil mendorong kepala anaknya…
Terkesan familiar ?
Bukan hanya bu Tini tapi banyak ibu ibu lain sering sekali merasa tak mampu mengendalikan emosinya menghadapi anak anaknya, tanpa tahu mengapa mereka merasakan seperti itu. Umumnya bila sudah marah panjang lebar bahkan melengkapinya dengan nolak kepala seperti yang dilakukan bu Tini, ada juga dengan mencubit bahkan memukul, mereka umumnya menyesal bahkan gak jarang menangis dikamar tidur nya. Apalagi kalau sudah malam, semua sudah tenang dan dia mengamati atau memandangi anaknya yang pulas tertidur dan nampak benar keluguan dan kepolosannya..
“Ya Allah kenapa aku marahi dan pukuli anakku ya Allaaah”, keluhnya sambil menciumi anaknya sementara air mata terus berurai. Penyesalan tak pernah datang diawal….
Beginilah jadinya bila tak ada persiapan.
Umumnya, jarang sekali ayah dan ibu memiliki kesiapan atau dipersiapkan oleh orang tuanya untuk menjadi orang tua. Kalau dulu, ketika beban pelajaran belum seberat sekarang dan jam belajar belum lagi diatas 8 jam sehari, anak anak masih punya kesempatan untuk bersama dengan anggota keluarga dirumah. Sehingga kalau tidak terlibat dalam membantu kakak atu tantenya yang punya anak kecil, anak anak masih dimintai tolong untuk membantu mengasuh atau menolong adiknya.
Tapi situasi kini jauh berubah. Anak anak sekolah pada usia yang lebih dini, mata pelajaran yang padat, jam belajar yg panjang dan tugas sejibun. Pulang, lelah jiwa raga. Main games, nonton TV, kerjakan tugas lalu tidur. Jarang ada kesempatan untuk dialog dan bercengkrama dalam keluarga. Apalagi kalau kedua orang tua bekerja pula dan pulang selalu lebih telat dari waktu anak tiba dirumah. Bayangkan !
Tiba tiba tak terasa anak sudah lulus sekolah menengah, mahasiswa atau sudah jadi sarjana dan waktu menikahpun tiba. Dari mana ada persiapan menjadi suami istri, apalagi ibu dan ayah?. Tahu tahu punya anak saja. Karena kurang pengetahuan, sengaja atau kesundulan: ada dua balita dalam keluarga . Huih!
Apa yang paling hilang dari pengasuhan seperti yang diuraikan diatas adalah kesempatan untuk mendengarkan perasaan anak. Andainya saja orang tua tahu, bagaimana pentingnya perasaan itu perlu didengarkan, mereka akan berjuang untuk punya waktu dan berdialog dan membicarakan soal “rasa “ dengan anaknya .
Bisakah anda bayangkan, apa jadinya dengan anak bu Tini diatas yang sejak usia balita ibunya suka berteriak, marah, memerintah (Diam!), mencap (Cengeng banget), mengancam (mama pukul nanti), menyalahkan ( Gak suka sama kamu, gak denger), membandingkan ( gak kayak adikmu)??..
Apakah cara pengasuhan seperti ini, memungkinkan bagi orang tuanya untuk menunjukkan perhatian dan memperdulikan perasaan anak nya?. Kemana anak ini akan membawa atau mengadukan derita rasa atau jiwanya kalau orang tuanya terus menerus menggunakan cara pengasuhan serupa ?
Itukan baru sekali!, biasanya berapa kali dalam sehari? dan sudah berapa lama ..? Itu anak siapa ya?
Jadi bagaimana ya kalau nanti dia jadi ibu atau ayah pula?.Bila orang tuanya terbiasa kalau marah seperti itu, tidakkah anak ini akan mengulang semua apa yang dia terima ini dengan OTOMATIS terhadap anaknya pula nanti ?.
Berkata seorang ahli : “Hati hati mengasuh anakmu. Perbaiki pola pengasuhanmu sebelum anakmu baligh. Karena engkau sedang salah mengasuh cucumu!”.
Bagaimana mungkin ?
Bagaimana mungkin merubah cara mengasuh, kalau kita :
1.Tidak menyadari bahwa pola asuh yang kita lakukan adalah pengulangan otomatis dari apa yang diterima dulu dan belum mampu memutus mata rantainya .
2.Tidak mengenali pola asuh yang bagaimana yang terjadi dengan pasangan kita, mengapa dia suka bersikap dan memiliki cara pengasuhan bahkan cara berfikir yang berbeda dengan kita?. Mengenali dan menyesuaikan diri dengan semua perbedaan itu tidaklah mudah, biasanya memerlukan waktu 5- 10 tahun. Tergantung bisa didialogkan dan mau mencari pertolongan ahli atau tidak, bisa dicari titik temu atau tidak. Sementara anak nambah terus…Marah sama pasangan- anak yang jadi korban iya kan ?
3.Apalagi kalau pernikahan itu sudah bermasalah dari awal, tidak disetujui kedua belah pihak, atau hanya sebelah saja, ada kesalahan dilakukan sebelum perkawinan yang menimbukan penolakan dari salah satu keluarga atau anggotanya.
4.Tidak mengerti sama sekali tahapan perkembangan dan tugas perkembangan anak : Usia sekian anak harusnya sudah mampu melakukan apa dan bagaimana merangsangnya.
5.Tidak faham bahwa bahwa otak anak ketika lahir belum bersambungan dengan sempurna, sehingga kemampuannya terbatas, dan banyak hal mereka belum mengerti. Begitu sambungan mencapai trilliunan pada usia 2.5 tahun, anak mulai belajar menunjukkan dirinya. Tapi ketidak fahaman membuat orang tua mematahkan semangat anak dan tidak memberinya kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya dengan sering menjadi :ayah atau mama “sini” : Sini mama bantuin, Sini ayah tolongin…
6.Begitu anak sudah 4 tahun bisa berpura dan berkhayal dikomentari : Bohong, mengada ada dll. Atau bila mereka memberikan pendapatnya orangtua mengatakan “dia sudah bisa membantah dan tidak patuh lagi “. Hoalllah…kasiannya tuh anak!
7.Orang tua tidak tahu bahwa :
Pusat perasaan diotak, berkembang lebih dulu dari pusat kognitifnya. Karena terburu buru ingin anak jadi pintar dan masuk sekolah, usia dini sudah dileskan Calistung, usia 6 tahun masuk SD. Kadang kadang ini dilakukan karena dirumah sudah ada 2-3 adiknya !.
8.BKKBN dan Kelompok Neurosaince Terapan pernah menyarankan agar dihindari sedapat mungkin untuk ada dua balita dalam keluarga, karena sangat mengkonsumsi jiwa, pikiran dan tenaga ibu. Apalagi kalau kedua oang tua bekerja dan anak di “subkontrakkan” kepada orang lain. Bayangkan apa jadinya dengan anak itu? .
Jika anak saja tidak mendapatkan kesempatan untuk didengarkan perasaannya apalagilah ibunya?
Mengapa fungsi berfikir ibu jadi terganggu?
Bagaimana tidak, kalau ibu mengalami semua 8 masalah diatas?.
Seorang ahli mengatakan bahwa bila seseorang sedang secara fisik sangat lelah, maka emosi mudah naik, sehingga bagian berfikir diotaknya menjadi sempit dan fungsi berfikir terganggu. Kelakuan didominasi oleh emosi. Kesadaran dan penyesalan akan muncul belakangan setelah emosi reda, letih berkurang .
Katherine Ellison, dalam bukunya The Mommy Brain menceritakan hasil risetnya bertahun tahun, bahwa ibu yang baru melahirkan itu normal bila dua bulan pertama mengalami apa yang disebutnya : “Amnesia keibuan, atau pikun kehamilan”. Hal ini terjadi oleh karena kekacauan kimiawi saat hamil dan melahirkan ditambah dengan rasa sakit, kekurangan tidur dan keharusan untuk belajar banyak hal sekaligus tentang mengurus, bayi, diri sendiri dan tetap memperhatikan lingkungan. Bila anda lengah sekejap saja, bia menimbulkan akibat yang sanga mengerikan . Allison mengemukakan juga bahwa di Inggris keadaan ini disebut sebagai : Otak Bubur, di Australia : “Otak Plasenta” dan “Otak mami” di Jepang . Bayangkanlah kalau di bulan ketiga ibu ini sudah hamil lagi…
Jadi untuk membantu bagaimana agar ibu “Tidak emosian” dalam mengasuh anak anaknya, semua orang disekitarnya, terutama para ayah dan orang tua hendaknya mengerti akan 8 hal yang umumnya dihadapi oleh seorang ibu berikut “amnesia atau pikun keibuan” diatas dan jangan abaikan perasaannya .
Diatas segalanya, ibu itu sendiri harus mampu mengenali dirinya dan berupaya memahami sepenuhnya serta berdamai dengan masa lalunya dengan memaafkan semua yang terjadi.Selain itu ia harus berusaha mengerti apa yang terjadi dengan pasangannya dan orang disekitarnya.Jangan karena tak mau berdamai dengan sejarah hidup, kesal dengan orang sekitar :suami dan anggota keluarga, anak yang dijadikan korban.
Anak tertekan, tak dimengerti dan tak didengarkan perasaannya adalah bencana di hari tua dan akhirat anda..
Dari risetnya tentang otak para ibu, Allison menunjukkan bahwa dengan menjadi ibu anda menjadi lebih pintar dan cerdas dari apa yang kita fikirkan!.Ada lima sifat otak yang dirangsang oleh bayi anda: Persepsi, Efisiensi,Daya tahan,Motivasi,dan Kecerdasan emosi..
Jadi apalagi dear ? : manfaatkan Mommy Brain anda.
Selamat berjuang untuk menyelesaikan urusan dengan diri sendiri sebelum anda menyelesaikan urusan anak dan keluarga anda. Putuskan mata rantai itu.
Mulailah dengan belajar mendengarkan dan menerima perasaan anak.
Anak kita belum mengerti apa yang menjadi kehendak dari kita selaku orang dewasa, biarkan proses belajar mereka alami tanpa harus di jejali emosi dari kita untuk mengarahkan agar sesuai dengan yang kita harapkan.
Jika dirasakan bermanfaat silahkan share atau simpan artikel ini di bookmark browser anda.
Anakayah.com